Thursday, August 31, 2017

LARANGAN MENURUNKAN JENAZAH BAGI YANG JUNUB TADI MALAM

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ شَهِدْنَا بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُدْفَنُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ عَلَى الْقَبْرِ فَرَأَيْتُ عَيْنَيْهِ تَدْمَعَانِ فَقَالَ هَلْ فِيكُمْ مِنْ أَحَدٍ لَـمْ يُقَارِفْ اللَّيْلَةَ؟ فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ أَنَا قَالَ فَانْزِلْ فِي قَبْرِهَا فَنَزَلَ فِي قَبْرِهَا
Dari anas r.a berkata: kami meyaksikan penguburan anak Rasulullah, beliau duduk disamping kuburannya. Maka aku melihat kedua matanya berlinang air mata. Beliau berkata ‘adakah diantara kalian yang tidak mengauli istrinya tadi malam?’Abu thahah menjawab aku ya Rasulullah, turunlah ! perintah Rasulullah.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( حَقُّ اَلْمُسْلِمِ عَلَى اَلْمُسْلِمِ سِتٌّ: إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ, وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ, وَإِذَا اِسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْهُ, وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اَللَّهَ فَسَمِّتْهُ وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ, وَإِذَا مَاتَ فَاتْبَعْهُ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ .[1]
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Hak seorang muslim terhadap sesama muslim ada enam, yaitu bila engkau berjumpa dengannya ucapkanlah salam; bila ia memanggilmu penuhilah; bila dia meminta nasehat kepadamu nasehatilah; bila dia bersin dan mengucapkan alhamdulillah bacalah yarhamukallah (semoga Allah memberikan rahmat kepadamu), bila dia sakit jenguklah, dan bila dia meninggal dunia hantarkanlah (jenazahnya)".(HR.  Muslim)


عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ شَهِدْنَا بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُدْفَنُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ عَلَى الْقَبْرِ فَرَأَيْتُ عَيْنَيْهِ تَدْمَعَانِ فَقَالَ هَلْ فِيكُمْ مِنْ أَحَدٍ لَـمْ يُقَارِفْ اللَّيْلَةَ؟ فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ أَنَا قَالَ فَانْزِلْ فِي قَبْرِهَا فَنَزَلَ فِي قَبْرِهَا
Dari Anas  t berkata: “Kami mengantarkan jenazah putri Rosululloh  rketika dikuburkan, saat itu Rosululloh duduk di pekuburan, aku melihat matanya mengeluarkan air mata, lalu bersabda: ‘Apakah ada di antara kalian yang tidak berkumpul dengan istrinya malam ini?” Lalu Abu Tholhah berkata: ‘Saya! Rosululloh r bersabda: ‘Turunlah ke kuburnya.’ lalu dia turun, dan menguburkannya” (HR Bukhori 3/122, 162)


Dalam hadits yang lain Rosulullah bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْقَبْرَ رَجُلٌ قَارَفَ اللَّيْلَةَ أَهْلَهُ
Seseorang yang mengumpuli istrinya di malam ini tidak boleh masuk ke liang kubur. (HR. Ahmad 3/229-270, Thohawi 3/202), dishohihkan al-Albani dalam Ahkamul Jana’iz hal 188-189).


أَنَّ رُقَيَّةَ لَمَّا مَاتَتْ، قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” لَا يَدْخُلِ الْقَبْرَ رَجُلٌ قَارَفَ أَهْلَهُ ” . فَلَمْ يَدْخُلْ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ الْقَبْرَ
Bahwa Ruqoyyah rodhiyallahu anha, ketika wafatnya, Rasulullah sholallahu alaihi wa salam bersabda : “jangan masuk kedalam liang kubur, seorang yang (tadi malam) berhubungan badan dengan istrinya!”. Maka Utsman bin ‘Affaan rodhiyallahu anhu tidak masuk dalam liang kubur.

Kemudian dalam Ahkamul Janaiz (hal. 149), Imam Al Albani menyebutkan takhrijnya, kata beliau :
وأخرج الرواية الثانية أحمد (3/ 229 – 270) والطحاوي (3/ 202) والحاكم (4/ 47) وابن حزم (5/ 145) من طريق أخرى عن أنس، والسياق لاحمد، والزيادة للحاكم وقال: ” حديث صحيح على شرط مسلم “.
وهو كما قال، وأقره الذهبي، إلا أن بعض الائمة قد استنكر منه تسميته البنت ” رقية ” فقال البخاري في التاريخ الأوسط”: “ما أدري ما هذا؟ فإن رقية ماتت والنبي صلى الله عليه وسلم ببدر لم يشهدها “.
ورجح الحافظ في ” الفتح ” أن الوهم فيه من حماد بن سلمة، وأنها أم كلثوم زوج عثمان، فراجعه، وهو الذي جزم به الطحاوي في ” المشكل ” وقال ” ” وكانت وفاتها في سنة تسع من الهجرة “
Diriwayatkan oleh Ahmad, Thohawi, al-Hakim dan Ibnu Hazm dari jalan lain dari Anas rodhiyallahu anhu, ini lafadnya Ahamd, dan tambahan ada dalam al-Hakim, lalu berkata : ‘Hadits Shahih atas syarat Muslim’. Dan penilaian ini, sebagaimana yang beliau katakan, dan telah disetujui oleh adz-Dzahabi, namun sebagian Aimah mengingkari penamaan anak Nabi sholallahu alaihi wa salam dengan Ruqoyyah. Bukhori dalam Tariikh Ausath berkata : ‘aku tidak tahu ini?, karena Ruqoyyah rodhiyallahu anhu wafat, sedangkan Nabi sholallahu alaihi wa salam di Badar, tidak menyaksikannya.
Lalu Al Hafidz dalam “al-Fath” merajihkan bahwa kesalahan ada pada Hammaad bin Salamah (salah satu perowi hadits ini), yang benar itu adalah Ummu Kultsuum, istri Utsman. Ini juga yang ditegaskan oleh Thahawi dalam “al-Musykil”, lalu berkata : ‘Ummu Kultsuum wafat pada tahun 9 H

MENGENAI TEMPAT NABI SAW DIKUBURKAN :

Abu Bakar Radhiyallahu anhu berkata, ‘Aku telah mendengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam satu hadits yang tidak akan kulupakan, beliau bersabda:
ماَ قَبَضَ اللهُ نَبِيًّا إِلاَّ فِي الْمَوْضِعِِ الَّذِي يُحِبُّ أََنْ يُدْفَنَ فِيْهِ, فَدَفَنُوْهُ فيِ مَوْضِعِ فِرَاشِهِ.
“Tidaklah Allah mewafatkan seorang Nabi kecuali di tempat yang Allah sukai sebagai tempat pemakamannya.”



SEDEKAH UNTUK ORANG TUA YANG TELAH MENINGGAL DUNIA[1]
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله
Sedekah yang dikeluarkan seorang anak untuk salah satu atau untuk kedua orang tuanya yang telah meninggal dunia, maka pahalanya akan sampai kepada keduanya. Selain itu segala amal shalih yang diamalkan anaknya maka pahalanya akan sampai kepada kedua orang tuanya tanpa mengurangi pahala si anak tersebut, sebab si anak merupakan hasil usaha kedua orang tuanya.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ
Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya. [an-Najm/53:39].
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَطْـيَبَ مَـا أَكَـلَ الرَّجُلُ مِـنْ كَـسْبِهِ ، وَإِنَّ وَلَـدَهُ مِنْ كَسْبِـهِ.
Sesungguhnya sebaik-baik apa yang dimakan oleh seseorang adalah dari hasil usahanya sendiri, dan sesungguhnya anaknya adalah hasil usahanya.[2]
Apa yang ditunjukkan oleh ayat al-Qur`ân dan hadits di atas diperkuat lagi oleh beberapa hadits yang secara khusus membahas tentang sampainya manfaat amal shalih sang anak kepada orang tua yang telah meninggal, seperti sedekah, puasa, memerdekakan budak, dan lain-lain semisalnya. Hadits-hadits tersebut ialah:
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma :
أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ أُمّـِيْ افْـتُـلِـتَتْ نَـفْسُهَا (وَلَـمْ تُوْصِ) فَـأَظُنَّـهَا لَوْ تَـكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ، فَـهَلْ لَـهَا أَجْـرٌ إِنْ تَـصَدَّقْتُ عَنْهَا (وَلِـيْ أَجْـرٌ)؟ قَالَ: «نَعَمْ» (فَـتَـصَدَّقَ عَـنْـهَا).
Bahwasanya ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Sesungguhnya ibuku meninggal dunia secara tiba-tiba (dan tidak memberikan wasiat), dan aku mengira jika ia bisa berbicara maka ia akan bersedekah, maka apakah ia memperoleh pahala jika aku bersedekah atas namanya (dan aku pun mendapatkan pahala)? Beliau menjawab, “Ya, (maka bersedekahlah untuknya).”[3]
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma :
أَنَّ سَعْـدَ بْنَ عُـبَـادَةَ -أَخَا بَـنِـيْ سَاعِدَةِ- تُـوُفّـِيَتْ أُمُّـهُ وَهُـوَ غَـائِـبٌ عَنْهَا، فَـقَالَ: يَـا رَسُوْلَ اللّٰـهِ! إِنَّ أُمّـِيْ تُـوُفّـِيَتْ، وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا، فَهَلْ يَنْـفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ بِـشَـيْءٍ عَنْهَا؟ قَـالَ: نَـعَمْ، قَالَ: فَـإِنّـِيْ أُشْهِـدُكَ أَنَّ حَائِـطَ الْـمِخْـرَافِ صَدَقَـةٌ عَلَـيْـهَا.
Bahwasanya Sa’ad bin ‘Ubadah –saudara Bani Sa’idah– ditinggal mati oleh ibunya, sedangkan ia tidak berada bersamanya, maka ia bertanya, “Wahai Rasûlullâh! Sesungguhnya ibuku meninggal dunia, dan aku sedang tidak bersamanya. Apakah bermanfaat baginya apabila aku menyedekahkan sesuatu atas namanya?” Beliau menjawab, “Ya.” Dia berkata, “Sesungguhnya aku menjadikan engkau saksi bahwa kebun(ku) yang berbuah itu menjadi sedekah atas nama ibuku.”[4]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ أَبِـيْ مَاتَ وَتَـرَكَ مَالًا، وَلَـمْ يُـوْصِ، فَهَلْ يُـكَـفّـِرُ عَنْـهُ أَنْ أَتـَصَدَّقَ عَنْـهُ؟ قَالَ: نَـعَمْ.
“Sesungguhnya ayahku meninggal dunia dan meninggalkan harta, tetapi ia tidak berwasiat. Apakah (Allâh) akan menghapuskan (kesalahan)nya karena sedekahku atas namanya?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam men-jawab, “Ya.”[5]
Imam asy-Syaukani t berkata, “Hadits-hadits bab ini menunjukkan bahwa sedekah dari anak itu bisa sampai kepada kedua orang tuanya setelah kematian keduanya meski tanpa adanya wasiat dari keduanya, pahalanya pun bisa sampai kepada kedua-nya. Dengan hadits-hadits ini, keumuman firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala berikut ini dikhususkan:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ
Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya. [an-Najm/53:39].
Tetapi, di dalam hadits tersebut hanya menjelaskan sampainya sedekah anak kepada kedua orang tuanya. Dan telah ditetapkan pula bahwa seorang anak itu merupakan hasil usahanya sehingga tidak perlu lagi mendakwa ayat di atas dikhususkan oleh hadits-hadits tersebut. Sedangkan yang selain dari anak, maka menurut zhahir ayat-ayat al-Qur`ân, pahalanya tidak akan sampai kepada orang yang sudah meninggal dunia. Maka hal tersebut tidak perlu diteruskan hingga ada dalil yang mengkhususkannya.[6]
Syaikh al-Albani rahimahullah mengomentari pernyataan di atas dengan berkata, “Inilah pemahaman yang benar yang sesuai dengan tuntutan kaidah-kaidah ilmiah, yaitu bahwa ayat al-Qur`ân di atas tetap dengan keumumannya, sedangkan pahala sedekah dan lain-lainnya tetap sampai dari seorang anak kepada kedua orang tuanya, karena ia (anak) hasil dari usahanya, berbeda dengan selain anak…”[7]
Adapun pengiriman pahala bacaan al-Qur`ân, Yasin, al-Fâtihah, kepada orang yang sudah meninggal maka tidak akan sampai, karena semua riwayat-riwayat hanya menyebutkan tentang sampainya pahala sedekah anak kepada orang tua (bukan bacaan al-Qur`ân). Berdasarkan ayat:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ
Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya. [an-Najm/53:39].
Ketika menafsirkan ayat di atas, al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sebagaimana dosa seseorang tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, maka demikian pula ganjaran seseorang (tidak dapat dipindahkan/dikirimkan) kepada orang lain, kecuali apa yang didapat dari hasil usahanya sendiri. Dari ayat ini Imam asy-Syafi’i dan orang (para ulama) yang mengikuti beliau beristinbat (mengambil dalil) bahwa mengirimkan pahala bacaan al-Qur`ân tidak sampai kepada si mayit karena yang demikian bukanlah amal dan usaha mereka. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyunnahkan ummatnya (mengirimkan pahala bacaan al-Qur`ân kepada mayyit) dan tidak pernah mengajarkan kepada mereka dengan satu nash yang sah dan tidak pula dengan isyarat. Dan tidak pernah dinukil ada seorang sahabat pun yang melakukan demikian. Seandainya hal itu (menghadiahkan pahala bacaan al-Qur`ân kepada mayit) adalah baik, semestinya merekalah yang lebih dulu mengerjakan perbuatan yang baik itu. Tentang bab amal-amal qurbah (amal ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah) hanya dibolehkan berdasarkan nash (dalil/contoh dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) dan tidak boleh memakai qiyas atau pendapat.”[8]
Apa yang telah disebutkan oleh Ibnu Katsir dari Imam asy-Syafi’i itu merupakan pendapat sebagian besar ulama dan juga pendapatnya Imam Hanafi, sebagaimana dinukil oleh az-Zubaidi dalam Syarah Ihya’ ‘Ulumuddin (X/369)[9].
Wallâhu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVI/1434H/2013M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
________
Footnote
[1]. Lihat Ahkâmul-Janâ-iz, hlm. 216-219 dan az-Zakâh fil-Islâm, hlm. 597-600.
[2]. Shahîh, HR Ahmad (VI/41, 126, 162, 173, 193, 201, 202, 220), Abu Dawud (no. 3528), at-Tirmidzi (no. 1358), an-Nasa-i (VII/241), Ibnu Majah (no. 2137), dan al-Hakim (II/46).
[3]. Shahîh, HR al-Bukhari (no. 1388), Muslim (no. 1004), Ahmad (VI/51), Abu Dawud (no. 2881), an-Nasa-i (VI/250), Ibnu Majah (no. 2717), dan al-Baihaqi (IV/62; VI/277-278).
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata dalam Ahkâmul-Janâ-iz (hlm. 217), “Redaksi ini milik al-Bukhari di salah satu dari dua riwayatnya, tambahan yang terakhir adalah miliknya dalam riwayat lain. Juga Ibnu Majah dimana tambahan kedua miliknya, sedangkan tambahan pertama milik Muslim.”
[4]. Shahîh. HR al-Bukhari (no. 2756), Ahmad (I/333, 370), Abu Dawud (no. 2882), at-Tirmidzi (no. 669), an-Nasa-i (VI/252-253), dan al-Baihaqi (VI/ 278). Lafazh ini milik Ahmad.
[5]. Shahîh. HR Muslim (no. 1630), Ahmad (II/371), an-Nasa-i (VI/252), dan al-Baihaqi (VI/278).
[6]. Nailul-Authâr, Cet. Dâr Ibnil-Qayyim, V/184.
[7]. Ahkâmul-Janâ-iz, hlm. 219.
[8]. Tafsîr Ibni Katsir (VII/465) tahqiq Sami bin Muhammad as-Salamah. Dan lihat Ahkâmul-Janâ-iz wa Bida’uhâ, Cet. Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, hlm. 220
[9]. Lihat Ahkâmul-Janâ-iz, hlm. 220.


Sumber: https://almanhaj.or.id/4097-sedekah-untuk-orang-tua-yang-telah-meninggal.html

ATURAN-ATURAN SHOLAT DAN DALIL-DALILNYA

TAKBIRATUL ihram merupakan takbir yang pertama kali dibaca ketika sholat, sebagai pembuka sholat. Disebut takbiratul ihram yang artinya takbir yang mengharamkan, karena takbir ini menjadi batas diharamkannya melakukan hal lain yang tidak berkaitan dengan sholat. Berikut rincian tata cara takbiratul ihram yang disimpulkan dari alquran dan sunah yang sahih:
1. Takbiratul Ihram merupakan rukun salat. Harus dilakukan baik menjadi imam, makmum, maupun sholat sendirian.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Kunci sholat adalah bersuci, memulainya dengan takbir, dan mengakhirinya dengan salam." (HR. Abu Daud 61, Turmudzi 3, & disahihkan al-Albani).
2. Yang dimaksud takbiratul ihram adalah ucapan: Allaahu akbar, dan bukan mengangkat tangan ketika takbir. Sementara mengangkat tangan ketika takbiratul ihram hukumnya dianjurkan dan tidak wajib.
Imam Ibnu Utsaimin mengatakan, "Mengangkat tangan ketika takbiratul ihram, ketika rukuk, ketika itidal, dan ketika bangkit ke rakaat ketiga dari tasyahud awal, hukumnya sunah." (Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin volume 13).
3. Keadaan telapak tangan ketika takbir:
a. Telapak tangan dibentangkan secara sempurna dan tidak menggenggam
b. Jari-jari telapak tangan tidak terlalu lebar dan tidak terlalu rapat. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, "Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika memulai sholat, beliau mengangkat kedua tangannya dengan dibentangkan." (HR. Abu Daud 753, Turmudzi 240, dan dishahihkan al-Albani)
c. Telapak tangan dihadapkan ke kiblat dan diangkat setinggi pundak atau telinga. Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhu, beliau menceritakan, "Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya setinggi pundak, ketika memulai sholat." (HR. Bukhari 735 & Muslim 390).
Dari Malik bin al-Huwairits radhiyallahu anhu, "Saya melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya ketika takbiratul ihram, ketika rukuk, ketika itidal, hingga setinggi daun telinga." (HR. Nasai 1024, dan yang lainnya).
4. Cara mengangkat tangan ketika takbir ada 3:
a. Mengangkat tangan sampai pundak lalu membaca takbir. Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhumma, "Apabila Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memulai sholat, beliau mengangkat kedua tangannya hingga setinggi pundak, kemudian beliau bertakbir." (HR. Muslim 390).
b. Mengangkat tangan lalu sedekap bersamaan dengan takbir. Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, "Saya melihat Nabi shallallahu alaihi wa sallam memulai takbiratul ihram ketika sholat, beliau mengangkat kedua tangannya ketika takbir." (HR. Bukhari 738)
c. Membaca takbir, lalu mengangkat tangan. Dari Malik bin al-Huwairits, "Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika usai takbir, beliau mengangkat tangan." (HR. Muslim 391).
5. Takbiratul harus dilakukan dalam keadaan posisi tubuh tegak sempurna dan tidak boleh sambil condong mau rukuk. Karena syarat sah-nya takbiratul ihram adalah dilakukan sambil berdiri bagi yang mampu.
6. Takbiratul ihram tidak disyaratkan harus dibarengkan dengan niat salat. Menggabungkan dua hal ini adalah mustahil. Karena anggapan inilah, banyak orang yang ditimpa penyakit was-was ketika takbir, sehingga takbirnya dilakukan berulang-ulang. Al-Kasani mengatakan, "Boleh mendahulukan niat dari pada takbiratul ihram menurut mazhab kami (hanafi), jika tidak ada kegiatan apapun yang menyelai antara niat dan takbiratul ihram." (Badai as-Shanai, 1/329).
Ibnu Qudamah juga menegaskan, "Para ulama mazhab kami (hambali) mengatakan, Boleh mendahulukan niat sebelum takbiratul ihram, selama jedanya tidak lama." (al-Mughni, 1/339).
7. Takbiratul ihram hanya dilakukan sekali dan tidak perlu diulang-ulang, yang ini umumnya terjadi karena was-was.
8. Orang yang salat sendirian atau makmum, takbirnya dibaca pelan. Hanya terdengar dirinya sendiri.

Monday, April 10, 2017

Tanya Jawab Islam

BISMILLAHIRROHMANIRROHIM

Jawaban-jawaban ringan yang akan saya berikan jika sekiranya anda bertanya dan saya tahu jawabannya. Islam itu mudah karena dalam Al Qur'an disampaikan : Allah tidak membebankan suatu beban kecuali sesuai kesanggupan. Betapa mudahnya Islam, tapi jangan kemudahannya dimudah-mudahkan lagi.
Contoh kemudahannya : barang siapa yang berpuasa lalu lupa bahwa dia berpuasa dan makan minum itu tidak batal puasanya karena lupa. Tapi setelah ingat tidak boleh lagi lanjutkan makan dan minumnya karena sudah ingat...Jangan katakan sudah terlanjur makan maka batal puasanya. Yang dimakan dan diminum dalam keadaan lupa maka itu hadiah bonus dari Allah SWT.
       Contoh kemudahan lain : Tidak sanggup berdiri sholat wajib maka bisa dengan sholat duduk, kalau tidak bisa duduk maka sholat dengan berbaring, dan seterusnya.
       Contoh lain lagi : naik haji wajib tapi hanya bagi orang mampu saja, kalau tidak mampu maka tidak wajib. Tidak ada aturan dalam Islam mengatakan walaupun tidak mampu harus pergi haji kalau tidak berangkat haji jadi kafir, tidak ada aturan yang kurang logis, Allohu 'Alam.
       Kalau ada pertanyaan silakan ajukan ke blog Hasbi Haris Dg sija' telp. 085299388399, Wassalam.

Monday, December 5, 2016

CARA ALLAH SWT MEMBERI REZKI KEPADA HAMBANYA

Andaikata, uang kita diambil satu bagian, lalu dikembalikan sebanyak tujuh belas kali lipat, maukah kita? Andaikata, yang mengambil tidak memberitahu lebih dahulu, kalau nantinya akan dibayar dengan berlipat ganda, maukah kita?

Marilah kita ikuti pengalaman nyata seorang bapak muda yang cukup menarik untuk dikaji. Sebutlah Pak A. Sekitar 14 tahun yang lalu, tepatnya tahun 1988, seorang muda yang baru dikarunia seorang anak, is bekerja sambil menyelesaikan kuliahnya yang tinggal sebentar lagi selesai. Gaji yang didapatkan dari pekerjaannya itu setiap bulannya dapat dikatakan sangat tidak cukup untuk biaya hidupnya beserta istri dan seorang anak kecilnya.

Suatu hari yang “naas” ia pulang dari kerjanya. Dengan penuh gembira ia membawa pulang gaji pertamanya yang sebesar Rp. 40.000,- (Empat puluh ribu rupiah). Dengan perasaan bangga dan penuh dengan rasa gembira ingin ditunjukkannya hasil kerjanya itu kepada istri tercintanya.

Ingin sekali ia cepat-cepat sampai di rumah dan dengan uang itu ia ingin belanja bersama istri dan anaknya, maklum gaji pertama adalah gaji yang mempunyai nilai “historis” tinggi.

Setelah sampai di rumah apa yang terjadi? Ternyata dompet yang berisi gaji satu bulan tersebut suWaktu satu bulan sungguh terasa sangat lama untuk menunggu gaji tersebut. Tapi apa mau dikata gaji pertamanya sudah harus ia relakan untuk tidak ia miliki saat itu. Bagaimana jika peristiwa itu terjadi pada diri kita? Sanggupkah kita menerimanya dengan ikhlas?
dah tidak ada di saku celananya alias kecopetan ketika ia pulang dari tempat kerjanya.

Bisa dibayangkan betapa sedih, kecewa dan bingungnya ia ketika itu. Andaikata bisa, mungkin ia akan menangis sejadi-jadinya. Bahkan mungkin ia akan protes kepada tuhan yang telah “mengijinkan” peristiwa itu terjadi. Karena ia telah bekerja dengan keringatnya tanpa kenal lelah dengan penghasilan yang halal demi keluarga tercinta.

Apa yang ia lakukan selanjutnya? Ia duduk terdiam tanpa bisa berkata apa-apa sambil memandang istri dan anaknya, mengapa hal ini harus terjadi pada dirinya? Dalam kondisi seperti itu dengan hati terasa pedih ia mencoba tegar dan berpikir praktis. Biarlah uangnya hilang, toh peristiwa sudah terjadi, mau diapa lagi….?”

Akhirnya diambilnya keputusan untuk tetap berusaha kalau-kalau dompet tersebut masih mungkin untuk ditemukan, walaupun secara logika sangat kecil kemungkinannya untuk mendapatkan kembali uangnya tersebut. Ia berusaha mengambil hikmah dari kejadian itu meskipun dengan perasaan yang tidak karuan sedihnya.

Keputusan segera diambilnya, yaitu tetap berusaha untuk mencoba mendapatkan kembali dompetnya karena di dalamnya ada beberapa surat berharga, diantaranya stnk kendaraan bermotor, ktp, dan beberapa surat penting lainnya.


Waktu berjalan dengan cepat. Ia telah lupa pada dompetnya yang hilang, dan saat itu ia asyik menulis sesuai dengan kemampuannya yang sesuai pula dengan disiplin ilmunya.

Hal ini berlangsung beberapa bulan sejak terjadinya peristiwa naas tersebut. Selanjutnya ia sering menulis dan menanggapi tulisan orang lain sampai berulang-ulang sehingga ia menjadi seorang penulis. Meskipun masih pemula, pada surat kabar tersebut. Lalu?

Karena kemampuannya menulis dinilai cukup baik, oleh pimpinan perusahaan ia dipanggil dan ditawari untuk bekerja diperusahaan tersebut dengan gaji pertama Rp 750.000,- Tujuh belas kali lipat lebih tinggi dibanding uangnya yang telah hilang waktu itu.

Itulah rupanya jawaban Allah atas kejadian yang menimpa seseorang, bila sabar menerimanya. Allah “meminjam” 1 bagian, dan kini dikembalikan menjadi tujuh belas kali lipat lebih.

Waktu berjalan terus tanpa terasa, dan pada saat saya menulis ini, ia telah mencapai sukses gemilang dengan penghasilan yang ribuan kali lipat dibanding uang yang hilang dulu.

Apakah ini merupakan puncak keindahan dari peristiwa yang terjadi di hari “naas” itu, atau bahkan Allah Yang Maha kuasa akan menunjukkan pada sesuatu yang lebih indah lagi….wallahu’alam.

Yang pasti, ukuran sukses yang paling besar adalah hati yang damai, dan bahagia yang tercapai. Saya yakin setiap orang pernah mengalami kejadian yang senada dengan kejadian diatas. Hanya saja mungkin skala dan situasinya yang berbeda.

Marilah kita renungkan perjalanan hidup kita masing-masing, pasti kita pernah mengalami suatu kejadian, dimana kejadian tersebut kita sangka sesuatu yang menyusahkan, merugikan, dan menyedihkan.

Tetapi hal itu akan berubah menjadi sesuatu yang indah, apabila seseorang sabar menerimanya. Akhirnya muncullah hikmah yang sangat besar yang tiada tersangka sebelumnya.

Sungguh, Allah Maha Perencana dari segala macam kejadian dan peristiwa. Setiap peristiwa yang sudah terjadi, bagi seorang muslim merupakan ketetapan Allah yang sangat indah. Karena disitulah letak ukuran dan ujian kualitas taqwa seseorang…